Monday 18 April 2016

GAMBARAN KEJADIAN MARASMUS DI PUSKESMAS KORI KECAMATAN KODI UTARA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 201 5

Tugas            :  Individu
Mata Kuliah  :  Epidemiologi Gizi

GAMBARAN KEJADIAN MARASMUS
DI PUSKESMAS KORI KECAMATAN KODI UTARA
KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 201 5

OLEH
GUSTINA
1310005





YAYASAN PENDIDIKAN TAMALATEA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK)
TAMALATEA MAKASSAR

2016



DAFTAR ISI


SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
  a.Latar Belakang
  b.Rumusan Masalah
  c.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
  a.Gambaran Epidemiologi Kejadian Penyakit Marasmus Ditinjau dari Host, Waktu Kejadian, dan Tempat atau Lingkungan
  b.Gambaran Epidemiologi dalam Usaha-usaha Pencegahan kejadian Penyakit Marasmus
BAB III PENUTUP
a.Kesimpulan
b.Saran
DAFTAR PUSTAKA



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan Nikmat-Nya, terutama nikmat kesehatan dan kesempatan untuk membuat tugas Epidemiologi Gizi yang berjudul 
Gambaran Kejadian Marasmus Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun 2015” dapat diselesaikan dalam bentuk sederhana ini.

Pembuatan tugas ini berdasarkan dari materi yang telah dikumpulkan, dan telah disusun sedemikian rupa. Dalam pembuatan tugas ini saya telah mengumpulkan materi tentang Penyakit Marasmus, mulai dari jurnal, dan artikel-artikel.


Makassar,      Januari 2016

GUSTINA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Dewasa ini, epidemiologi banyak digunakan dalam analisis masalah gizi masyarakat. Masalah ini erat hubungannya dengan berbagai faktor yang menyangkut pola hidup masyarakat. Pendekatan masalah gizi masyarakat melalui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan dengan kehidupan social masyarakat. Penanggulangan masaah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada sasaran individu atau lingkungan keluarga saja. 
Dari berbagai contoh ruang lingkup penggunaan epidemiologi seperti tersebut diatas, lebih memperjelas bahwa disiplin ilmu epidemiologi sebagai dasar filosofi dalam usaha pendekatan analis masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang bertalian dengan bidang kesehatan maupun masalah lain yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara umum
.
Menurut Sodikin 2011 dalam penelitian Riardi mengatakan bahwa malnutrisi yaitu suatu kondisi dimana penderita mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terkhir. Kriteria lain yang digunakan adalah apabila saat pengukuran berat badan kurang dari 90% berat badan ideal berdasarkan tinggi badan.Malnutrisi jenis marasmus adalah suatu bentuk malgizi protein dan energy karena kelaparan, dan semua unsur diet kurang. [1]
India dianggap salah satu di antara negara-negara dengan populasi terbesar anak di dunia. Gizi kurang pada anak-anak banyak ditemukan  di negara berkembang di dunia. Lebih dari 150 juta anak menderita kekurangan gizi di dunia. 90 persen dari anak-anak kekurangan gizi kronis di Negara-negara berkembang seperti Asia dan Africa. Data UNICEF saat ini menunjukkan bahwa satu dari tiga anak yang kekurangan gizi di seluruh dunia ditemukan di India, sementara 42 persen anak-anak bangsa di bawah usia lima tahun yang berbadan kurus. Survei yang dilakukan oleh Proyek Pengembangan Anak Udupi Taluk dari Januari hingga April tahun 2012; itu telah ditemukan 583 anak-anak berusia di bawah enam tahun menderita gizi buruk akut parah di kabupaten Udupi. Dari 213 anak yang menderita kekurangan gizi akut berat, 74 anak-anak di Kundapur taluk, 69 di Karkala taluk dan 70 di Udupi taluk. Karena, dapat dikatakan bahwa gizi anak usia adalah masalah kesehatan masyarakat umum di seluruh dunia berkembang terutama di India . Ulasan juga menyarankan bahwa ada banyak penyebab kekurangan gizi anak yaitu, miskin, diet, perilaku pengasuh yang tidak pantas dan pengetahuan ibu yang tidak benar tentang gizi anak sebagai faktor utama [2]. Menurut UNICEF tahun 2015 dalam penelitian Munthari,  2015 sekitar 25 sampai 35 juta dibawah lima anak memiliki gizi buruk akut dan 13 juta anak-anak ini tinggal di Sahara Afrika dan dari anak-anak ini satu juta akan meninggal setiap tahunnya [3]
Dampak Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 dan terus diikuti krisis multi dimensi telah mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat terutama dalam hal daya beli. Kemampuan daya beli ini berkorelasi terhadap persediaan pangan di rumah tangga salah satunya persediaan dan ketahanan pangan. Persediaan dan ketahanan pangan menyebabkan konsumsi energi dan protein berkurang sehingga status gizi dan masyarakat menurun. Pada tahun 2000 berdasarkan indikator berat badan menurut umur telah ditemukan sekitar 1,3jt balita di Indonesia menderita gizi buruk, sedangkan sekitar 10% dari jumlah tersebut menderita gizi buruk tingkat berat seperti marasmus, kwashiorkor atau bentuk kombinasi keduanya.
Kejadian  gizi  buruk  perlu  dideteksi secara  dini  melalui  intensifikasi  pemantauan pertumbuhan  dan  identifikasi  faktor  risiko yang  erat  dengan  kejadian  luar  biasa  gizi seperti  campak  dan  diare  melalui  kegiatan surveilans.  Prevalensi  balita  yang  mengalami gizi  buruk  di  Indonesia  masih  tinggi.  Hasil Riskesdas  menunjukkan  adanya  peningkatan prevalensi balita gizi  kurang dan  buruk  secara nasional,  prevalensi  berat-kurang  pada  tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi  buruk  dan  13,9  persen  gizi  kurang.  Jika dibandingkan  dengan  angka  prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9  %)  terlihat  meningkat.  Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010,  dan  5,7  persen  tahun  2013.  Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari  2007  dan  2013. Mencuatnya  kembali pemberitaan  di  media  massa  akhir-akhir  ini mengenai  balita  gizi  buruk  yang  ditemukan dan meninggal menunjukkan sistem surveilans dan  penanggulangan  dari  berbagai  instansiterkait  belum  optimal. Pasien–pasien  yang masuk  ke  rumah  sakit  dalam  kondisi  status gizi buruk juga semakin meningkat. Umumnya pasien–pasien  tersebut  adalah  balita.  Salah satu tanda gizi buruk balita adalah berat badan balita  di  bawah  garis  merah  dalam  Kartu Menuju  Sehat  (KMS)  balita.  Masalah  gizi buruk  balita  merupakan  masalah  yang  sangat serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat  dapat  berakhir  pada  kematian.  Gizi buruk  lebih  rentan  pada  penyakit  akibat menurunnya  daya  tahan  tubuh,  pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal, sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi  muda  mendatang. Hal ini telah membukakan  mata  kita  bahwa  anak  balita sebagai sumber daya untuk masa depan mempunyai  masalah  yang  sangat  besar. Apalagi  penyakit  penyerta  yang  sering  pada gizi  buruk  seperti  lingkaran  setan, yaitu penyakit-penyakit  penyerta  justru  menambah rendahnya  status  gizi  anak.  Penyakit-penyakit penyerta  yang  sering  terjadi  adalah  Infeksi Saluran  Pernafasan  Akut  (ISPA),  diare persisten,  cacingan,  tuberculosis,  malaria  dan HIV/AIDS.[4].
Rudolph, 2014 mengatakan bahwa Masalah utama yang sering terjadi pada anak penderita marasmus adalah penciutan otot dan hilangnya lemak subkutis, mereka mengalami penurunan berat badan, perkembangan otak menjadi lambat, dan apabila berkepanjangan dapat menyebabkan gagal tumbuh [5]
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, NTT menempati urutan tertinggi kedua dibawah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk status gizi buruk dan kurang yaitu  sebesar  29,4%  yang  terdiri  dari  gizi  buruk  9,0%  dan  gizi  kurang  20,4%. Jumlah balita di Propinsi NTT tahun 2010 sebanyak 595.331 balita, maka dapat diperkirakan terdapat 53.580 balita yang mengalami gizi buruk dan 121.448 balita yang mengalami gizi kurang. Ini berarti terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan kurang [6].
Data Dinkes  Provinsi  NTT,2010 mengenai gizi  buruk  dan  kurang  di  21  Kabupaten  dan  Kota  di  NTT menunjukkan  bahwa  di  Kabupaten  Kupang  tercatat  741  balita  menderita  gizi buruk, diikuti oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 466 balita, menyusul Sumba  Barat  Daya  419  orang  (1,3%),  berikut  Kabupaten  Alor  341  balita  lalu Kabupaten  Manggarai  Timur  306  orang  dan  Kabupaten  Lembata  221  orang (Seran, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya menduduki  peringkat  ketiga  teratas  kabupaten  dengan  penderita  gizi  buruk terbanyak. Selain itu, di Sumba Barat Daya tercatat sebanyak 1.565 (4,9%) dari 31.575 balita menderita gizi kurang dan menduduki urutan ke-9 kabupaten dengan jumlah  penderita  gizi  kurang  terbanyak  dari  21  kabupaten  yang  ada  di  NTT setelah Kabupaten Belu, Sikka, Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) Manggarai Barat,  Kota  Kupang,  Lembata  dan  Manggarai  Timur. Selain jumlah penderita gizi buruk dan kurang yang tinggi, jumlah rumah tangga  miskin  pun  cukup  tinggi  yaitu  18.230  rumah  tangga [6]
Menurut data yang didapat di Puskesmas Kori, 2013 salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba  Barat Daya  yaitu Kecamatan Kodi  Utara  mempunyai  data  kejadian  gizi  buruk  dan  kurang  yang  cukup  tinggi pada bulan Januari-Desember  2013 sebanyak  40  kasus (Puskesmas Kori, 2013). Penderita gizi buruk dan kurang yang ada pada Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat dari 4.321 balita, 10 balita (0,02%) mengalami  gizi  buruk,  sedangkan  30  balita  (0,69%)  mengalami  gizi  kurang [6]..
Data ini belum menggambarkan kondisi seluruh balita di Kecamatan Kodi Utara  karena  dari  4.321  balita  baru  sebesar  60%  anak  balita  yang  ditimbang, sehingga  angka  gizi  buruk  dan  kurang  bisa  jadi  lebih  tinggi  (Puskesmas  Kori, 2013).  Rendahnya  kunjungan  balita  ke  Posyandu  kemungkinan  disebabkan  oleh karena  kesibukan  dari  orang  tua  yang  bercocok  tanam  serta  tempat  layanan kesehatan  yang  cukup  sulit  dicapai  mengingat  topografi  Kecamatan  Kodi  Utara berbukit-bukit [6]
Dengan melihat gizi buruk masih sangat tinggi di angka kejadiannya, maka dari itu penulis tertarik mengambil judul “Gambaran Kejadian Marasmus Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun 201 5”. Untuk lebih mengetahui kejadian Marasmus di dunia, khususnya di Indonesia.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya  Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 Ditinjau dari Host, Waktu Kejadian, dan Tempat atau Lingkungan?
2.    Bagaimana Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya  Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 dalam Usaha-usaha Pencegahan kejadian Penyakit Marasmus?



C.   Tujuan
1.    Tujuan Umum
Mengetahui Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya  Nusa Tenggara Timur Tahun 2014  dan Usaha-usaha Pencegahan Kejadian Penyakit Marasmus
2.    Tujuan Khusus
a.    Mengetahui Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya  Nusa Tenggara Timur Tahun 2014
b.    Mengetahui Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya  Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 dalam Usaha-usaha Pencegahan Kejadian Penyakit Marasmus.
BAB II
PEMBAHASAN

A.     GAMBARAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN PENYAKIT PADA HOST, WAKTU KEJADIAN, DAN TEMPAT/LINGKUNGAN
Dorland, 1998:649 dalam makalah suherman, 2013 mengatakan bahwa Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti kurus-kering. Sebaliknya walau asupan protein sangat kurang, tetapi si anak masih menerima asupan hidrat arang (misalnya nasi ataupun sumber energi lainnya). Marasmus disebabkan karena kurang kalori yang berlebihan, sehingga membuat cadangan makanan yang tersimpan dalam tubuh terpaksa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot [7]
Nelson dalam Makalah Sitti Fatimah, 2014 menjelaskan bahwa Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital.[8]
Adapun faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya marasmus, yaitu: 
1.      Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang memadai. Diet yang kurang energi juga dapat mengakibatkan terjadinya marasmus. 
2.      Kepadatan penduduk Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa, marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan higiene yang buruk. 
3.      Faktor sosial Keadaan sosial yang tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya marasmus. 
4.      Faktor pendidikan Kurang adanya pengetahuan tentang pentingnya gizi dikalangan masyarakat yang pendidikannya relative rendah. 
5.      Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga, penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan ketidakmampuan dalam membeli bahan makanan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak yang tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. 
6.      Faktor infeksi dan penyakit lain Terdapat interaksi sinergis antara MEP (Malnutrisi energi protein) dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti sering diserang diare, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat.
Marasmus dapat terjadi pada segala umur. Pada anak-anak, biasanya penyebab terjadinya marasmus disebabkan karena tidak tercukupinya kebutuhan ASI sewaktu bayi. Menurut Laren et al (2000), penyebab marasmus ialah kurang kalori-protein yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. 
Secara garis besar, sebab-sebab marasmus ialah masukan makanan yang kurang. Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis kongenital. Kelainan struktur bawaan misalnya, penyakit jantung bawaan. Marasmus juga dapat disebabkan oleh Prematuritas dan penyakit pada masa neonates. Dimana pada keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat. Tetapi pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup juga akan menyebabkan terjadinya marasmus. Gangguan metabolik misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galacosemia, lactose intolerance serta penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang kurang akan menimbulkan marasmus. Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.
Pada host atau pejamu, yang menjadi pejamu pada kejadian penyakit marasmus adalah bayi, anak balita, dan orang dewasa. Penyebarannya adalah penyakit penyakit, tingkat pertumbuhan yang tinggi, ibu hamil, kerja berat, cacat lahir, lahir premature, dan faktor pengaruh perorangan.
Data dari Puskesmas Kori, 2013 Salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba  Barat Daya  yaitu Kecamatan Kodi  Utara  mempunyai  data  kejadian  gizi  buruk  dan  kurang  yang  cukup  tinggi pada bulan Januari-Desember  2013 sebanyak  40  kasus (Puskesmas Kori, 2013). Penderita gizi buruk dan kurang yang ada pada Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat dari 4.321 balita, 10 balita (0,02%) mengalami  gizi  buruk,  sedangkan  30  balita  (0,69%)  mengalami  gizi  kurang
Data ini belum menggambarkan kondisi seluruh balita di Kecamatan Kodi Utara  karena  dari  4.321  balita  baru  sebesar  60%  anak  balita  yang  ditimbang, sehingga  angka  gizi  buruk  dan  kurang  bisa  jadi  lebih  tinggi  (Puskesmas  Kori, 2013).  Rendahnya  kunjungan  balita  ke  Posyandu  kemungkinan  disebabkan  oleh karena  kesibukan  dari  orang  tua  yang  bercocok  tanam  serta  tempat  layanan kesehatan  yang  cukup  sulit  dicapai  mengingat  topografi  Kecamatan  Kodi  Utara berbukit-bukit [9]
B.    GAMBARAN EPIDEMIOLOGI USAHA-USAHA PENCEGAHAN
Menurut herman dalam makalahnya Usaha-usaha pencegahan terhadap suatu penyakit sangatlah penting, adapun beberapa usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu:
1.    Primordial Prevention
Pencegahan Primordial usaha mencegah terjadinya faktor risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah untuk terkena penyakit marasmus. Seperti dalam memberikan pendidikan kepada ibu-ibu yang memiliki bayi, balita untuk dicukupkan asupan gizinya untuk menghindari malnutrisi dalam hal ini marasmus. Contoh pendidikan gizi dipadukan dengan program pemerintah yang berkaitan dengan gizi yang disebut Perogram Keluarga Harapan (PKH).
Seperti memberikan pendidikan kepada ibu-ibu yang memiliki bayi, balita untuk dicukupkan asupan gizinya untuk menghindari malnutrisi dalam hal ini marasmus.
2.    Primary Prevention
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian penyakit atau gangguan sebelum penyakit marasmus itu terjadi. Promosi kesehatan pendidikan kesehatan dan perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama di dalam pencegahan primer. Perubahan gaya hidup, penyuluhan kesehatan masyarakat skrining kesehatan, pendidikan kesehatan di sekolah, kegiatan kesehatan perawatan prenatal yang baik, pilihan perilaku hidupyang baik, gizi yang cukup, kondisi keamanan dan kesehatan di rumah, sekolah atau tempat kerja, semuanya termasuk dalam aktivitas pencegahan primer. Langkah-langkah dan kegiatan pokok di dalam kesehatan masyarakat seperti sanitasi, pengendalian infeksi, imunisasi, perlindungan makanan, susu dan sumber air, pengamanan lingkungan dan perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja merupakan pencegahan yang amat cukup. Hygiene perorangan (penderita marasmus) dan langkah-langkah kesehatan masyarakat memiliki dampak yang besar terhadap epidemic penyakit menular. Imunisasi pengendalian infeksi (missal cuci tangan) penyimpanan makanan dalam lemari pendingin, pengumpulan sampah, pengelolaam limbah padat dan cair, perlakuan dan perlindungan persediaan air dan sanitasi umum telah menurunkan ancaman penyakit infeksius dimasyarakat penyakit kronis, gaya hidup, dan perilaku manusia saat ini merupakan faktor kontribusi utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan Negara industri Negara lain masalah kesehatan mental dan emosi serta masalah kesehatan lingkungan. Langkah-langkah pencegahan ditingkat dasar saat ini harus diorientasi pada pengaturan perilakudan gaya hidup serta mengubah pola pendapatan ekonomi untuk mencegah terjadinya busung lapar dan malnutrisi/marasmus. Aktivitas dasar kesehatan masyarakat seperti promosi dan ppencegahan tidak boleh diabaikan, dilalaikan, atau dikurangi. Jika kegiatan tersebut tidak dipertahankan pada tingkat yang tinggi penyakit menular dapat kembali menjadi penyebab utama penderitaan dan kematian menjadi penyebab utama penderitaan, penyakit, dan kematian. Dengan tetap memelihara kegiatan kesehatan masyarakat, upaya di tingkat pencegahan primer harus di fokuskan pada perubahan perilaku individu dan perlindungan lingkungan. Dengan demikian, di masa mendatang, fokus terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan yang di berikan dokter akan berkurang dan harus digantikan dengan upaya pencegahan primer termasuk dukungan ekonomi yang cukup untuk kegiatan dan program pencegahan.
3.    Secondary prevention
Merupakan pencegahan yang mana sasaran utamanya adalah pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini serta pemberian serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi.
Pada tahap pencegahan ini, penderita marasmu mestinya diberikan perhatian lebih untuk mempertahankan tubuh dan stamina serta imunitasnya. Sehingga penderita dapat bertahan sampi kepada tahap pemulihan.
4.    Tertiary prevention
Merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehalibitasi. Tujuannya adalah menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan, dan membantu penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Seperti pencegahan dilakukan untuk mencegah jangan sampai bayi atau balita yang menderita penyakit marasmus mengalami cacat dan bertambah parahnya penyakit serta kematian. Pencegahan ini dapat berupa menjaga sanitasi lingkungan serta sanitasi makan untuk menghindari resiko munculnya penyakit lain.


BAB IV
PENUTUP

.  Kesimpulan
1.    Ada tiga gambaran epidemiologi kejadian penyakit marasmus
a.    Yang menjadi host atau pejamu penyakit marasmus adalah bayi, balita, dan orang dewasa.
b.    Marasmus dapat terjadi karena asupan gizi yang tidak cukup dan pengetahuan ibu kurang mengenai asupan gizi analk.
c.    Lingkungan keluarga, sosial, pendidikan, dan ekonomi sangat berpengaruh terhadap penyakit marasmus
2.    Usaha-usaha yang dilakukan untuk pencegahan kejadian penyakit marasmus yaitu Primordial prevention, Primery Prevention, Secondary Prevention, dan Tertiary Prevention.
   Saran
1.    Karena kita telah mengetahui yang beresiko terkena penyakit marasmus maka disarankan untuk mengantisipasi kejadian penyakit marasmus dengan mencukupkan asupan gizi dan menambah pengetahuan ibu terhadap asupan gizi anak, serta memperbaiki tempat atau lingkungan setempat.
2.    Sebaiknya usaha-usaha pencegahan tersebut dilaksanakan dengan tepat agar kejadian penyakit marasmus dapat berkurang atau bahkan tidak ada lagi kasus yang terjadi.



 DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014. Pemberian ASI  Eksklusif  Berisiko Terhadap Kejadian Gizi Buruk Dan Kurang Pada Anak Balita Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2014. Diakses 11 Januari 2016.
Fatimah, S, 2014. Makalah Marasmus. http://blogshyfa.blogspot.co.id/ diakses 6 November 2015
Khairunisa, K, 2013. Malnutrisi. Makalah. http://kurniakhairunisa030493.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Liansyah,T.M. (2015). Malnutrisi Pada Anak Balita. http://ejournal.stkipgetsempena.ac.id diakses 7 November 2015.
Rajan, Angela, Pai, M.S, E Binu Margaret. 2015.  Mothers’ Knowledge On Nutritional Deficiency Disorders In Children: A Descriptive Survey. Asia Pacific Journal of Research Vol: I. Issue XXIV, February 2015.  ISSN: 2320-5504, E-ISSN-2347-4793.  India. http://apjor.com/ diakses 7 November 2015
Saparuddin. 2015. Makalah Epidemiologi Gizi. http://saparudin80.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Suherman., 2013. Marasmus Pada Bayi Dan Balita. Makalah. http://herman-mamank.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Yasir, Muhammad, 2011. Epidemiologi Penanggulangan Marasmus. http://epiders.blogspot.co.id/  diakses 7 November 2015