Tugas : Individu
Mata Kuliah : Epidemiologi
Gizi
GAMBARAN KEJADIAN MARASMUS
DI PUSKESMAS KORI KECAMATAN KODI UTARA
KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 201
5
OLEH
GUSTINA
1310005
YAYASAN PENDIDIKAN TAMALATEA
SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN (STIK)
TAMALATEA MAKASSAR
2016
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
b.Rumusan Masalah
c.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
a.Gambaran Epidemiologi Kejadian Penyakit Marasmus
Ditinjau dari Host, Waktu Kejadian, dan Tempat atau Lingkungan
b.Gambaran Epidemiologi dalam Usaha-usaha
Pencegahan kejadian Penyakit Marasmus
BAB III PENUTUP
a.Kesimpulan
b.Saran
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan
Nikmat-Nya, terutama nikmat kesehatan dan kesempatan untuk membuat tugas Epidemiologi Gizi yang berjudul
“Gambaran Kejadian
Marasmus Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten
Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun 2015” dapat diselesaikan
dalam bentuk sederhana ini.
Pembuatan
tugas ini berdasarkan dari materi yang telah dikumpulkan, dan telah disusun
sedemikian rupa. Dalam pembuatan tugas ini saya telah mengumpulkan materi
tentang Penyakit Marasmus, mulai dari jurnal, dan artikel-artikel.
Makassar, Januari
2016
GUSTINA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gizi merupakan salah satu
faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Dewasa ini, epidemiologi banyak digunakan dalam analisis
masalah gizi masyarakat. Masalah ini erat hubungannya dengan berbagai faktor
yang menyangkut pola hidup masyarakat. Pendekatan masalah gizi masyarakat
melalui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang
berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat
biologis, dan terutama yang berkaitan dengan kehidupan social masyarakat.
Penanggulangan masaah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi
lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan
timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada
sasaran individu atau lingkungan keluarga saja.
Dari berbagai contoh ruang lingkup penggunaan epidemiologi seperti tersebut diatas, lebih memperjelas bahwa disiplin ilmu epidemiologi sebagai dasar filosofi dalam usaha pendekatan analis masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang bertalian dengan bidang kesehatan maupun masalah lain yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara umum.
Dari berbagai contoh ruang lingkup penggunaan epidemiologi seperti tersebut diatas, lebih memperjelas bahwa disiplin ilmu epidemiologi sebagai dasar filosofi dalam usaha pendekatan analis masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang bertalian dengan bidang kesehatan maupun masalah lain yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara umum.
Menurut Sodikin 2011 dalam penelitian Riardi mengatakan
bahwa malnutrisi
yaitu suatu kondisi dimana penderita mengalami penurunan berat badan lebih dari
10% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terkhir. Kriteria lain yang
digunakan adalah apabila saat pengukuran berat badan kurang dari 90% berat
badan ideal berdasarkan tinggi badan.Malnutrisi jenis marasmus adalah suatu bentuk malgizi protein dan energy
karena kelaparan, dan semua unsur diet kurang. [1]
India dianggap salah
satu di antara negara-negara dengan populasi terbesar anak di dunia. Gizi
kurang pada anak-anak banyak ditemukan di negara berkembang di dunia. Lebih dari 150 juta anak menderita
kekurangan gizi di dunia. 90 persen dari
anak-anak kekurangan gizi kronis di Negara-negara berkembang seperti Asia dan Africa. Data UNICEF saat ini menunjukkan bahwa
satu dari tiga anak yang kekurangan gizi di seluruh dunia ditemukan di India,
sementara 42 persen anak-anak bangsa di bawah usia lima tahun yang berbadan
kurus. Survei yang dilakukan oleh Proyek Pengembangan Anak Udupi
Taluk dari Januari hingga April tahun 2012; itu telah ditemukan
583 anak-anak berusia di bawah enam tahun menderita gizi
buruk akut parah di kabupaten Udupi. Dari 213 anak yang menderita kekurangan
gizi akut berat, 74 anak-anak di Kundapur taluk, 69 di Karkala taluk dan 70 di Udupi taluk. Karena, dapat dikatakan bahwa gizi anak usia adalah masalah
kesehatan masyarakat umum di seluruh dunia berkembang terutama di India .
Ulasan juga menyarankan bahwa ada banyak penyebab kekurangan gizi anak yaitu,
miskin, diet, perilaku pengasuh
yang tidak pantas dan pengetahuan ibu yang
tidak benar tentang gizi anak sebagai faktor utama [2]. Menurut UNICEF tahun 2015 dalam penelitian Munthari, 2015 sekitar 25 sampai 35 juta dibawah lima
anak memiliki gizi buruk akut dan 13 juta anak-anak ini tinggal di Sahara
Afrika dan dari anak-anak ini satu juta akan meninggal setiap tahunnya [3]
Dampak Krisis ekonomi yang
terjadi sejak tahun 1997 dan terus diikuti krisis multi dimensi telah
mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat terutama dalam hal daya beli.
Kemampuan daya beli ini berkorelasi terhadap persediaan pangan di rumah tangga
salah satunya persediaan dan ketahanan pangan. Persediaan dan ketahanan pangan
menyebabkan konsumsi energi dan protein berkurang sehingga status gizi dan
masyarakat menurun. Pada tahun 2000 berdasarkan indikator berat badan menurut
umur telah ditemukan sekitar 1,3jt
balita di Indonesia menderita gizi buruk, sedangkan sekitar 10% dari jumlah
tersebut menderita gizi buruk tingkat berat seperti marasmus, kwashiorkor atau
bentuk kombinasi keduanya.
Kejadian gizi
buruk perlu dideteksi secara dini
melalui intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan
identifikasi faktor risiko yang
erat dengan kejadian
luar biasa gizi seperti
campak dan diare
melalui kegiatan surveilans. Prevalensi
balita yang mengalami gizi buruk
di Indonesia masih
tinggi. Hasil Riskesdas menunjukkan
adanya peningkatan prevalensi
balita gizi kurang dan buruk
secara nasional, prevalensi berat-kurang
pada tahun 2013 adalah 19,6
persen, terdiri dari 5,7 persen gizi
buruk dan 13,9
persen gizi kurang.
Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %)
terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk
yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan
5,7 persen tahun
2013. Sedangkan prevalensi gizi
kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan
2013. Mencuatnya kembali
pemberitaan di media
massa akhir-akhir ini mengenai
balita gizi buruk
yang ditemukan dan meninggal
menunjukkan sistem surveilans dan
penanggulangan dari berbagai
instansiterkait belum optimal. Pasien–pasien yang masuk
ke rumah sakit
dalam kondisi status gizi buruk juga semakin meningkat.
Umumnya pasien–pasien tersebut adalah
balita. Salah satu tanda gizi
buruk balita adalah berat badan balita
di bawah garis
merah dalam Kartu Menuju
Sehat (KMS) balita.
Masalah gizi buruk balita
merupakan masalah yang
sangat serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat
berakhir pada kematian.
Gizi buruk lebih rentan
pada penyakit akibat menurunnya daya
tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak
optimal, sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi muda
mendatang. Hal ini telah membukakan
mata kita bahwa
anak balita sebagai sumber daya
untuk masa depan mempunyai masalah yang
sangat besar. Apalagi penyakit
penyerta yang sering
pada gizi buruk seperti
lingkaran setan, yaitu
penyakit-penyakit penyerta justru
menambah rendahnya status gizi
anak. Penyakit-penyakit
penyerta yang sering
terjadi adalah Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA), diare persisten, cacingan, tuberculosis,
malaria dan HIV/AIDS.[4].
Rudolph, 2014 mengatakan bahwa Masalah utama yang sering terjadi pada anak
penderita marasmus adalah penciutan otot dan hilangnya lemak subkutis, mereka
mengalami penurunan berat badan, perkembangan otak menjadi lambat, dan apabila
berkepanjangan dapat menyebabkan gagal tumbuh [5]
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, NTT
menempati urutan tertinggi kedua dibawah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
untuk status gizi buruk dan kurang yaitu
sebesar 29,4% yang
terdiri dari gizi
buruk 9,0% dan
gizi kurang 20,4%. Jumlah balita di Propinsi NTT tahun
2010 sebanyak 595.331 balita, maka dapat diperkirakan terdapat 53.580 balita
yang mengalami gizi buruk dan 121.448 balita yang mengalami gizi kurang. Ini
berarti terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan kurang [6].
Data Dinkes Provinsi
NTT,2010 mengenai gizi buruk dan
kurang di 21
Kabupaten dan Kota
di NTT menunjukkan bahwa
di Kabupaten Kupang
tercatat 741 balita
menderita gizi buruk, diikuti
oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 466 balita, menyusul Sumba Barat
Daya 419 orang (1,3%), berikut
Kabupaten Alor 341
balita lalu Kabupaten Manggarai
Timur 306 orang
dan Kabupaten Lembata
221 orang (Seran, 2010). Data
tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya menduduki peringkat
ketiga teratas kabupaten
dengan penderita gizi
buruk terbanyak. Selain itu, di Sumba Barat Daya tercatat sebanyak 1.565
(4,9%) dari 31.575 balita menderita gizi kurang dan menduduki urutan ke-9
kabupaten dengan jumlah penderita gizi
kurang terbanyak dari
21 kabupaten yang
ada di NTT setelah Kabupaten Belu, Sikka, Kupang,
Timor Tengah Selatan (TTS) Manggarai Barat,
Kota Kupang, Lembata
dan Manggarai Timur. Selain jumlah penderita gizi buruk dan
kurang yang tinggi, jumlah rumah tangga
miskin pun cukup
tinggi yaitu 18.230
rumah tangga [6]
Menurut data yang didapat di Puskesmas
Kori, 2013 salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya
yaitu Kecamatan Kodi Utara mempunyai
data kejadian gizi
buruk dan kurang
yang cukup tinggi pada bulan Januari-Desember 2013 sebanyak
40 kasus (Puskesmas Kori, 2013).
Penderita gizi buruk dan kurang yang ada pada Puskesmas Kori Kecamatan Kodi
Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat dari 4.321 balita, 10 balita (0,02%)
mengalami gizi buruk,
sedangkan 30 balita
(0,69%) mengalami gizi
kurang [6]..
Data ini belum menggambarkan kondisi
seluruh balita di Kecamatan Kodi Utara karena
dari 4.321 balita
baru sebesar 60%
anak balita yang
ditimbang, sehingga angka gizi
buruk dan kurang
bisa jadi lebih
tinggi (Puskesmas Kori, 2013).
Rendahnya kunjungan balita
ke Posyandu kemungkinan
disebabkan oleh karena kesibukan
dari orang tua
yang bercocok tanam
serta tempat layanan kesehatan yang
cukup sulit dicapai
mengingat topografi Kecamatan
Kodi Utara berbukit-bukit [6]
Dengan
melihat gizi buruk masih sangat tinggi di angka kejadiannya, maka dari itu
penulis tertarik mengambil judul “Gambaran Kejadian Marasmus Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun 201
5”. Untuk lebih mengetahui kejadian Marasmus di dunia,
khususnya di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Gambaran Kejadian
Marasmus (Gizi
Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun
2014 Ditinjau
dari Host, Waktu Kejadian, dan Tempat atau Lingkungan?
2. Bagaimana Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di
Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 dalam Usaha-usaha Pencegahan kejadian
Penyakit Marasmus?
C.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mengetahui
Gambaran Kejadian Marasmus (Gizi Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun
2014 dan Usaha-usaha Pencegahan Kejadian Penyakit
Marasmus
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengetahui Gambaran Kejadian
Marasmus (Gizi
Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun
2014
b.
Mengetahui Gambaran Kejadian
Marasmus (Gizi
Buruk) Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur Tahun
2014 dalam Usaha-usaha
Pencegahan Kejadian Penyakit Marasmus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN PENYAKIT PADA HOST,
WAKTU KEJADIAN, DAN TEMPAT/LINGKUNGAN
Dorland,
1998:649 dalam makalah suherman, 2013 mengatakan bahwa Marasmus berasal dari
kata Yunani yang berarti kurus-kering. Sebaliknya walau asupan protein sangat
kurang, tetapi si anak masih menerima asupan hidrat arang (misalnya nasi
ataupun sumber energi lainnya). Marasmus disebabkan karena kurang kalori yang
berlebihan, sehingga membuat cadangan makanan yang tersimpan dalam tubuh
terpaksa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat diperlukan untuk
kelangsungan hidup. Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang
terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama
tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot
[7]
Nelson
dalam Makalah Sitti Fatimah, 2014 menjelaskan bahwa Penyebab utama
marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang
tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan
orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital.[8]
Adapun faktor-faktor
lain yang menyebabkan terjadinya marasmus, yaitu:
1.
Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat
dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung
kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang
memadai. Diet yang kurang energi juga dapat mengakibatkan terjadinya
marasmus.
2.
Kepadatan penduduk Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa, marasmus
terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat penduduknya
dengan higiene yang buruk.
3.
Faktor sosial Keadaan sosial yang tidak stabil, ataupun adanya
pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu dan sudah berlansung
turun-temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya marasmus.
4.
Faktor pendidikan Kurang adanya pengetahuan tentang pentingnya
gizi dikalangan masyarakat yang pendidikannya relative rendah.
5.
Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga, penghasilan yang rendah yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan dan ketidakmampuan dalam membeli bahan makanan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak yang tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
6.
Faktor infeksi dan penyakit lain Terdapat interaksi sinergis
antara MEP (Malnutrisi energi protein) dan infeksi. Infeksi derajat apapun
dapat memperburuk keadaan gizi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi
melalui gangguan masukan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial
tubuh. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan
imunitas tubuh terhadap infeksi. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai
penyakit lain seperti sering diserang diare, kelainan bawaan saluran pencernaan
atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga
gangguan pada saraf pusat.
Marasmus dapat terjadi
pada segala umur. Pada anak-anak, biasanya penyebab terjadinya marasmus
disebabkan karena tidak tercukupinya kebutuhan ASI sewaktu bayi. Menurut Laren
et al (2000), penyebab marasmus ialah kurang kalori-protein yang berat. Keadaan
ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit
infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak
sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya
marasmus.
Secara garis besar,
sebab-sebab marasmus ialah masukan makanan yang kurang. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian
secara luas susu kaleng yang terlalu encer. Infeksi yang berat dan lama
menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil
gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis kongenital.
Kelainan struktur bawaan misalnya, penyakit jantung bawaan. Marasmus juga dapat
disebabkan oleh Prematuritas dan penyakit pada masa neonates. Dimana pada
keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang
kurang kuat. Tetapi pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan
tambahan yang cukup juga akan menyebabkan terjadinya marasmus. Gangguan
metabolik misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galacosemia,
lactose intolerance serta penyapihan yang terlalu dini disertai dengan
pemberian makanan yang kurang akan menimbulkan marasmus. Sebenarnya malnutrisi
merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini
dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent
(kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet (makanan)
memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.
Pada host atau pejamu, yang
menjadi pejamu pada kejadian penyakit marasmus adalah bayi, anak balita, dan
orang dewasa. Penyebarannya adalah penyakit penyakit, tingkat pertumbuhan yang
tinggi, ibu hamil, kerja berat, cacat lahir, lahir premature, dan faktor
pengaruh perorangan.
Data
dari Puskesmas Kori, 2013 Salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya
yaitu Kecamatan Kodi Utara mempunyai
data kejadian gizi
buruk dan kurang
yang cukup tinggi pada bulan Januari-Desember 2013 sebanyak
40 kasus (Puskesmas Kori, 2013).
Penderita gizi buruk dan kurang yang ada pada Puskesmas Kori Kecamatan Kodi
Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat dari 4.321 balita, 10 balita (0,02%)
mengalami gizi buruk,
sedangkan 30 balita
(0,69%) mengalami gizi
kurang
Data ini belum menggambarkan kondisi
seluruh balita di Kecamatan Kodi Utara karena dari
4.321 balita baru
sebesar 60% anak
balita yang ditimbang, sehingga angka
gizi buruk dan
kurang bisa jadi
lebih tinggi (Puskesmas
Kori, 2013). Rendahnya kunjungan
balita ke Posyandu
kemungkinan disebabkan oleh karena
kesibukan dari orang
tua yang bercocok
tanam serta tempat
layanan kesehatan yang cukup
sulit dicapai mengingat
topografi Kecamatan Kodi
Utara berbukit-bukit [9]
B. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI USAHA-USAHA PENCEGAHAN
Menurut herman dalam makalahnya Usaha-usaha pencegahan
terhadap suatu penyakit sangatlah penting, adapun beberapa usaha-usaha
pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu:
1.
Primordial Prevention
Pencegahan Primordial usaha mencegah terjadinya faktor risiko
atau mempertahankan keadaan risiko rendah untuk terkena penyakit marasmus.
Seperti dalam memberikan pendidikan kepada ibu-ibu yang memiliki bayi, balita
untuk dicukupkan asupan gizinya untuk menghindari malnutrisi dalam hal ini
marasmus. Contoh pendidikan gizi dipadukan dengan program pemerintah yang
berkaitan dengan gizi yang disebut Perogram Keluarga Harapan (PKH).
Seperti memberikan pendidikan kepada ibu-ibu yang memiliki
bayi, balita untuk dicukupkan asupan gizinya untuk menghindari malnutrisi dalam
hal ini marasmus.
2.
Primary Prevention
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan
kejadian penyakit atau gangguan sebelum penyakit marasmus itu terjadi. Promosi
kesehatan pendidikan kesehatan dan perlindungan kesehatan adalah tiga aspek
utama di dalam pencegahan primer. Perubahan gaya hidup, penyuluhan kesehatan
masyarakat skrining kesehatan, pendidikan kesehatan di sekolah, kegiatan
kesehatan perawatan prenatal yang baik, pilihan perilaku hidupyang baik, gizi
yang cukup, kondisi keamanan dan kesehatan di rumah, sekolah atau tempat kerja,
semuanya termasuk dalam aktivitas pencegahan primer. Langkah-langkah dan
kegiatan pokok di dalam kesehatan masyarakat seperti sanitasi, pengendalian
infeksi, imunisasi, perlindungan makanan, susu dan sumber air, pengamanan
lingkungan dan perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja merupakan
pencegahan yang amat cukup. Hygiene perorangan (penderita marasmus) dan
langkah-langkah kesehatan masyarakat memiliki dampak yang besar terhadap
epidemic penyakit menular. Imunisasi pengendalian infeksi (missal cuci tangan)
penyimpanan makanan dalam lemari pendingin, pengumpulan sampah, pengelolaam limbah
padat dan cair, perlakuan dan perlindungan persediaan air dan sanitasi umum
telah menurunkan ancaman penyakit infeksius dimasyarakat penyakit kronis, gaya
hidup, dan perilaku manusia saat ini merupakan faktor kontribusi utama penyebab
kematian di Amerika Serikat dan Negara industri Negara lain masalah kesehatan
mental dan emosi serta masalah kesehatan lingkungan. Langkah-langkah pencegahan
ditingkat dasar saat ini harus diorientasi pada pengaturan perilakudan gaya
hidup serta mengubah pola pendapatan ekonomi untuk mencegah terjadinya busung
lapar dan malnutrisi/marasmus. Aktivitas dasar kesehatan masyarakat seperti
promosi dan ppencegahan tidak boleh diabaikan, dilalaikan, atau dikurangi. Jika
kegiatan tersebut tidak dipertahankan pada tingkat yang tinggi penyakit menular
dapat kembali menjadi penyebab utama penderitaan dan kematian menjadi
penyebab utama penderitaan, penyakit, dan kematian. Dengan tetap memelihara
kegiatan kesehatan masyarakat, upaya di tingkat pencegahan primer harus di
fokuskan pada perubahan perilaku individu dan perlindungan lingkungan. Dengan
demikian, di masa mendatang, fokus terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan
yang di berikan dokter akan berkurang dan harus digantikan dengan upaya
pencegahan primer termasuk dukungan ekonomi yang cukup untuk kegiatan dan
program pencegahan.
3.
Secondary prevention
Merupakan pencegahan yang mana sasaran
utamanya adalah pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan
menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini serta pemberian serta
pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan dari pencegahan sekunder
adalah untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi.
Pada tahap pencegahan ini, penderita marasmu
mestinya diberikan perhatian lebih untuk mempertahankan tubuh dan stamina serta
imunitasnya. Sehingga penderita dapat bertahan sampi kepada tahap pemulihan.
4.
Tertiary prevention
Merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya
adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya
penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehalibitasi. Tujuannya
adalah menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan, dan
membantu penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian terhadap
kondisi-kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Seperti pencegahan dilakukan
untuk mencegah jangan sampai bayi atau balita yang menderita penyakit marasmus
mengalami cacat dan bertambah parahnya penyakit serta kematian. Pencegahan ini
dapat berupa menjaga sanitasi lingkungan serta sanitasi makan untuk menghindari
resiko munculnya penyakit lain.
BAB IV
PENUTUP
. Kesimpulan
1.
Ada tiga gambaran epidemiologi kejadian penyakit
marasmus
a.
Yang menjadi host atau pejamu penyakit marasmus adalah
bayi, balita, dan orang dewasa.
b.
Marasmus dapat terjadi karena asupan gizi yang tidak
cukup dan pengetahuan ibu kurang mengenai asupan gizi analk.
c.
Lingkungan keluarga, sosial, pendidikan, dan ekonomi
sangat berpengaruh terhadap penyakit marasmus
2.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk pencegahan kejadian
penyakit marasmus yaitu Primordial prevention, Primery Prevention, Secondary Prevention, dan Tertiary Prevention.
Saran
1.
Karena kita telah mengetahui yang beresiko terkena
penyakit marasmus maka disarankan untuk mengantisipasi kejadian penyakit
marasmus dengan mencukupkan asupan gizi dan menambah pengetahuan ibu terhadap
asupan gizi anak, serta memperbaiki tempat atau lingkungan setempat.
2.
Sebaiknya usaha-usaha pencegahan tersebut dilaksanakan
dengan tepat agar kejadian penyakit marasmus dapat berkurang atau bahkan tidak
ada lagi kasus yang terjadi.
Anonim, 2014.
Pemberian ASI Eksklusif Berisiko Terhadap Kejadian Gizi Buruk Dan
Kurang Pada Anak Balita Di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba
Barat Daya Tahun 2014. Diakses 11 Januari 2016.
Khairunisa, K, 2013. Malnutrisi. Makalah. http://kurniakhairunisa030493.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Liansyah,T.M.
(2015). Malnutrisi Pada Anak Balita. http://ejournal.stkipgetsempena.ac.id diakses 7
November 2015.
Rajan, Angela, Pai,
M.S, E Binu Margaret. 2015. Mothers’ Knowledge On Nutritional Deficiency
Disorders In Children: A Descriptive Survey. Asia Pacific Journal of Research Vol: I. Issue XXIV, February
2015. ISSN: 2320-5504, E-ISSN-2347-4793.
India. http://apjor.com/ diakses 7 November 2015
Saparuddin. 2015.
Makalah Epidemiologi Gizi. http://saparudin80.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Suherman., 2013. Marasmus Pada Bayi Dan Balita. Makalah. http://herman-mamank.blogspot.co.id/ diakses 7 November 2015
Yasir, Muhammad,
2011. Epidemiologi Penanggulangan
Marasmus. http://epiders.blogspot.co.id/
diakses 7 November 2015
No comments:
Post a Comment